Global-hukumindonesia.id, Prabumulih - Hujan deras yang mengguyur Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan, 11 September 2025, sejak Kamis sore pukul 17.00 WIB kembali mengungkap rapuhnya sistem drainase dan penanganan banjir di kota penghasil minyak ini. Air meluap bukan hanya di bantaran Sungai Kelekar, tetapi juga merendam kawasan padat penduduk seperti Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Padat Karya, Kelurahan Gunung Ibul, Muara Dua, Karang Raja, hingga Majasari.
Ratusan rumah warga tergenang, dengan ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Aktivitas masyarakat lumpuh, sebagian warga terpaksa mengungsi ke rumah kerabat yang datarannya lebih tinggi.
“Setiap hujan deras, kami selalu was-was. Air cepat sekali naik. Padahal pemerintah sudah habiskan uang miliaran untuk proyek normalisasi, tapi banjir tetap datang", keluh Pakde Ajum (57thn), warga Karang Raja , sambil menunjukkan genangan air yang masuk ke ruang tamu, kamar hingga dapurnya.
Diketahui Proyek normalisasi Sungai Kelekar yang menelan anggaran Rp.38 miliar digadang-gadang menjadi solusi permanen.
Namun kenyataannya, belum mengatasi banjir yang melanda ketika hujan turun bahkan banjir masih terjadi hampir dengan skala yang sama.
Warga menilai proyek tersebut belum menyentuh akar persoalan banjir yang kerap melanda wilayah Prabumulih.
“Drainase di kota ini tersumbat, aliran air dari pemukiman tidak lancar. Ditambah lagi Sungai Kelekar masih ada yang dangkal dan menyempit. Contohnya Seperti di RT 03 RW 01 Karang Raja. Kalau tidak dibenahi sampai hilir di Desa Pangkul wilayah Muara Enim, mustahil masalah selesai", tegas pakde Ajum.
Pakde Ajum mewakili banyak warga terdampak, berharap langkah nyata segera diambil. “Tahun depan semoga benar-benar direalisasikan. Kami tidak ingin setiap musim hujan selalu jadi korban", ujarnya
Pengamatan lapangan juga memperlihatkan sedimentasi di sejumlah titik aliran sungai, serta tumpukan sampah yang memperparah penyempitan badan sungai.
Banjir kali ini menjadi ujian serius bagi Pemerintah Kota Prabumulih. Masyarakat menilai proyek besar yang menelan anggaran fantastis tersebut jangan hanya jadi formalitas, tanpa kajian menyeluruh.
Ecan Aktivis lingkungan lokal menyoroti lemahnya pengawasan dan perencanaan. “Kalau normalisasi hanya setengah-setengah, dampaknya seperti ini. Proyek besar selesai, tapi banjir tetap menggenang. Ini jelas pemborosan anggaran", ujarnya.
Warga berharap agar Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera Selatan (BBWS Sumsel) dan pemerintah kota harus segera kembali duduk bersama mencari solusi komprehensif. Termasuk normalisasi total dari hulu hingga hilir, perbaikan drainase perkotaan, serta program penghijauan di daerah resapan.
Banjir Prabumulih bukan sekadar bencana musiman, namun hal ini menjadi alarm bagi kegagalan tata kelola air perkotaan. Dengan anggaran puluhan miliar yang sudah dikucurkan, merupakan harapan publik untuk solusi nyata bukan sebaliknya. (TS)
Social Header